KIBAS

Oleh: Hatta Adi Failasuf (2024)

Derasnya hujan di awal Januari 2003 tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang ada di Kota Pekalongan, salah satunya Kali Lodji. Akibatnya, air meluap menggenangi jalan-jalan di Kecamatan Pekalongan Utara, tak terkecuali sepanjang Jalan Patriot.

Di jalan tersebut, tinggal seorang gadis kecil beserta keluarganya. Meskipun masih tersisa genangan air sisa banjir semalam, namun sang gadis kecil tetap semangat untuk berangkat ke sekolah. Usianya masih lima tahun, dia bersekolah di Taman Kanak-kanak Bakti yang letaknya bersebelahan dengan rumahnya. Pakaian sudah rapi dan uang 1 lembar sudah masuk kantong, tak lupa bedak tabur dari ibu sudah menyelimuti wajah polosnya, putih bak donat salju.

Ia pun berpamitan kepada ibu, sementara ayahnya sudah terlebih dahulu berangkat kerja di salah satu instansi pemerintah. Sebabagi seorang Pegawai Negri Sipil (PNS), sang ayah harus berangkat pagi.

Si gadis kecil sudah terbiasa berangkat sendiri ke sekolah, ini ia lakukan sejak hari kedua ke sekolah. Di hari pertama ia seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, diantar oleh orang tua, yakni ibunya.

Tak seperti  hari-hari biasanya ia, harus berjuang melewati genangan air di jalan, ia memilih berjalan di atas pembatas selokan untuk menghindari banjir di jalan. Pembatas selokan itu hanya memiliki lebar kurang dari 15 cm, dengan penuh kehati-hatian sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan ia berhasil sampai di TK Bakti yang berjarak 5 meter dari rumahnya.

Sesampainya di sekolah ia disambut ceria oleh teman-teman sekelasnya, ia langsung meletakkan tas di meja dan bergegas bermain prosotan. Ia naik melalui tangga dan segera meluncur ke prosotan favoritnya di sekolah. “Cupak”! terdengar suara yang sesaat kemudian menjadi pusat perhatian. Suara tersebut ternyata berasal dari tubuh kecil yang terjerembab ke genangan air yang ada di ujung perosotan. Semua mata tertuju padanya, dan teman-teman yang melihatnya tertawa, sementara guru-gurunya berupaya sekuat tenaga untuk tidak tertawa karena iba. Sementara wajah ceria si gadis cilik seketika berubah, tertegun dan tidak percaya, karena bajunya kini basah kuyup dan kotor terkena lumpur.

Sambil menahan malu si gadis kecil bergegas berdiri dan berjalan pulang ke rumah. Ia ingin segera keluar dari momen memalukan tersebut. Di rumah ia disambut dengan muka ibunya yang penuh tanya yang sesaat kemudian berubah jadi gelengan kepala tanda tidak percaya kalau gadis kecilnya kuyup dan kotor. Si gadis kecil kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan kotoran di badanya, sementara sang ibu segera meninggalkan lapak jualannya di teras rumah untuk membantu menyiapkan pakaian ganti. Untungnya, hari itu sekolah membebaskan si gadis kecil dan seluruh muridnya tidak memakai seragam sekolah.

Setelah semua selesai, si gadis kecil bersiap kembali ke sekolah. Seperti sebelumnya, ia harus kembali berhadapan dengan jalan-jalan penuh air banjir. Bak jembatan sirotol mustaqim yang menentukan nasibnya, ia harus pandai-pandai menghindari genangan, menapaki pembatas selokan sembari memastikan kali ini jangan sampai pulang kedua kali karena banjir.

“Byuurr”! si gadis kecil tercebur di selokan, kakinya terpeleset saat menginjak pembatas selokan yang licin. Setengah badanya masuk ke selokan dan membuat semua yang dipakai di badannya basah. Padahal jarak dia terjebur dengan sekolah tinggal beberapa langkah lagi. Kejadian ini lagi-lagi disaksikan oleh teman-teman dan orang-orang yang ada di sekolah.

Kali ini, kesabarannya habis. Matanya memerah, air matanya keluar dan tangisnya pecah. Dia beranjak bangun dari kubangan selokan, dibantu salah seorang ibu wali murid yang melihatnya terpleset. Sesampainya di rumah, si gadis kecil bertambah sedih karena disambut dengan tampang sang ibu yang kali ini tidak mampu menyembunyikan rasa kesal, heran melihat anaknya pulang kembali dengan baju basah kuyup kotor penuh lumpur dan bau selokan melekat di badanya. Tapi, seorang ibu memiliki keleluasan hati terutama jika melihat anak-anaknya penuh semangat. Untuk kali kesekian, dia kembali menyiapkan baju untuk sang anak sulungnya. Sementara sang gadis kembali membersihkan badan dan untuk ketiga kalinya di hari yang sama, ia tetap berangkat sekolah.

Kini, 21 tahun momen itu telah berlalu dan si gadis sudah dewasa. Ia kini menyandang gelar seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Sekarang dia tergabung dalam Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja PI) Padukuhan Kraton, sebuah kelompok kerja di level kelurahan yang semangat mendorong upaya-upaya warga untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Hikmah berharap, banjir dan rob di Kota Pekalongan suatu saat bisa teratasi, ruang-ruang publik kembali dapat dinikmati oleh anak-anak, serta tidak ada lagi cerita anak-anak yang harus bolak-balik dari rumah ke sekolah karena air bah.