Kelurahan Bandengan terletak di wilayah kecamatan Pekalongan utara yang berbatasan langsung dengan pantai utara Jawa, dengan luas wilayah sekitar 231.048 ha, dengan ketinggian sekitar 1 mdpl dan sebagian besar wilayahnya merupakan area cekungan tanah (profil kelurahan 2019). Hal ini menyebabkan sebagian wilayah kelurahan berupa rawa, sementara wilayah lain berupa lahan sawah dan ladang sekitar 39 ha, bangunan umum 50.50 ha, permukiman warga sekitar 55 ha, pekuburan 1,40 ha lainnya 1,53 ha.
Sejarah Rob di Kelurahan Bandengan
Naiknya permukaan air laut seiring dengan dampak perubahan iklim global tidak hanya menyebabkan masuknya air ke pemukiman warga, namun juga menjadi penghambat bagi masuknya air dari sungai ke laut, sehingga muara sungai bremi yang seharusnya aliran airnya ke laut menjadi berbalik arah dan meluap ke area wilayah pemukiman disisi lain hal itu juga terjadi saat hujan mulai intensitas sedang sampai ke tinggi, dan menjadikan Bandengan kerap dikepung banjir dan rob sejak tahun 2012.
Banjir dan rob juga telah mengubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Lahan pertanian, perikanan tambak dan perkebunan melati yang sempat menjadi tumpuan hidup masyarakat (tahun 1960 – 1990an) berubah menjadi lahan tidak produktif karena terendam air rob hingga ketinggian 2 – 3 meter, dan pemukiman penduduk dengan ketinggian 1- 2 meter.
Masuknya air ke pemukiman menyebabkan warga Bandengan harus beradaptasi dengan meninggikan lantai rumah agar selamat dari banjir. Namun usaha tersebut harus terus dilakukan seiring dengan banjir yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Bagi warga yang kurang mampu secara ekonomi, maka harus berdamai dan hidup dengan kondisi rumah tergenang air hingga berminggu bahkan berbulan-bulan saat banjir bandang melanda.
Masyarakat juga beradaptasi dalam hal ekonomi, pasca banjir besar tahun 2016, sebagian memanfaatkan lahan yang tergenang untuk dijadikan tambak ikan, seperti lele dan nila. Di tahun 2020 kembali lagi terjadi banjir besar dan rob yang semakin memperburuk keadaan, dampaknya sebagian masyarakat Bandengan mengungsi, karena area wilayah Bandengan tergenang banjir selama 1 bulan lebih, hal itu tidak hanya menyebabkan terhentinya perputaran ekonomi, tetapi juga berdampak pada kesehatan. Sebagian terkena penyakit kulit dan infeksi pada saluran pernafasan (ISPA). Semenjak itu, pemeritah mulai rutin menggalakkan program kebersihan dan kesehatan agar bisa menanggulangi serta meningkatkan kesehatan masyarakat.
KEMITRAAN melalui dukungan dari Adaptation Fund (AF) memiliki beberapa kegiatan terkait dampak dari perubahan iklim yang terjadi, salah satunya di Kelurahan Bandengan. Salah satu kegiatan KEMITRAAN di Kelurahan yang sebelumnya terkenal sebagai salah satu penghasil bunga melati terbaik di Kota Pekalongan ini adalah pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja PI). Melalui Surat Keputusan Lurah, kelompok yang mendorong isu perubahan iklim di Bandengan terbentuk dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat, dari pemuda, tokoh masyarakat dan perempuan. Keberadaan kelompok iklim langsung berhasil mendorong proses diskusi perencanaan pembangunan kelurahan memasukan program-program terkait isu perubahan iklim, seperti dukungan untuk penanaman dan pemeliharaan mangrove. Upaya selanjutnya yang akan dilakukan oleh Pokja adalah memastikan usulan dari kelurahan menjadi prioritas dalam musyawarah di tingkat Kota.
Fasilitator kelurahan bersama anak muda dan warga juga telah berhasil mengorganisasi gerakan penanaman total 4.600 pohon mangrove dan cemara laut di pesisir pantai seluas 4.540 m2. Adapun jenis mangrove yang ditanam adalah 2.300 avicennia mariana dan sisanya adalah cemara laut. Hal ini diharapkan menjadi langkah untuk mengamankan sekitar wilayah pantai Bandengan dari gelombang laut. Kegiatan penanaman mangrove melibatkan semua unsur masyarakat yang ada di Bandengan, meliputi organisasi kemasyarakatan, aparat penegak hukum yang dalam hal ini babinsa dan bhabinkamtibmas, Pokja PI.
Adapun pelaksanaan beberapa proyek dalam tahun ini yaitu pembangunan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) adaptif di RW 3 dan renovasi di RW 4, 5, dan 6, serta perbaikan sanitasi. Hal ini dilakukan untuk memfasilitasi masyarakat yang tidak bisa menggunakan fasilitas MCK miliknya saat banjir dan rob melanda. Selain itu, program juga berencana membangun Silvofishery di RW 4 dan 6. Banyaknya lahan tergenang pada dua wilayah tersebut akan disulap menjadi lahan budidaya ikan, agar produktif dan menghasilkan tambahan pemasukan untuk masyarakat.
Selanjutnya, hilangnya lahan pertanian akibat banjir rob juga menjadi salah satu perhatian program. Salah satu alternative yang akan dilakukan adalah menjalankan urban farming. Upaya ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sayur warga, sehingga dapat mengurangi pengeluaran belanja. Kedepan juga akan ada lagi kegiatan penanaman mangrove di sekitar jalan produksi untuk menjaga masuknya air rob dan merusak jalan warga.