KIBAS

Degayu merupakan salah satu Kelurahan yang terletak di pesisir utara Kota Pekalongan. Pada tahun 2000an seiring dengan dampak perubahan iklim global, mulai dihadapkan pada banjir rob. Awal-awal banjir (5 tahun pertama), langsung berdampak pada ekonomi warga karena air asin dari laut menggenangi lahan persawahan dan menjadikannya tidak dapat lagi ditanami.

Pada tahun 2002, petani mulai beradaptasi dan beralih profesi menjadi petani tambak dengan budidaya udang vanamei. Hasil dari budidaya udang terbukti dapat menjadi tumpuan ekonomi warga, bahkan hasilnya lebih baik dari sawah padi. Tingginya hasil dari budidaya udang vanamei menyebabkan sebagian warga tergiur untuk memperluas lahan tambak, termasuk mengorbankan tanaman mangrove yang melindungi kelurahan dari banjir. Selain penebangan, tanaman mangrove di pesisir Degayu juga rusak akibat dari intrusi air laut yang kian besar.

Pada tahun 2008, sebagian warga mulai menyadari pentingnya tanaman mangrove untuk melindungi wilayah mereka dari banjir. Selain membentuk kelompok mapan budidaya mangrove (Masyarakat Pecinta Alam Nusantara), mereka juga mulai menggalakkan program penanaman kembali mangrove.

Pada sisi lain, budi daya udang semakin maju. Di tahun 2012, banjir semakin parah dan mengakibatkan tambak ikan bandeng di Degayu merugi, sehingga mereka mulai beralih ke udang. Puncaknya, terjadi penebangan hampir 75 persen tanaman mangrove di Degayu akibat dari intensifikasi budidaya udang. Di tahun 2013, tersisa hutan mangrove seluas 60 Ha dan berkurang drastis seiring rusaknya ekosistem akibat dari kian tingginya air rob.

Hal ini mulai membuat banjir kian meluas di wilayah Degayu dan menjadikan masyarakat kehilangan tidak hanya mata pencaharian, melainkan juga kenyamanan karena air rob merambah ke fasilitas umum dan rumah penduduk.

Tahun 2021, KEMITRAAN melalui program Adaptation Fund melakukan serangkaian program untuk meminimalkan dampak perubahan iklim yang dirasakan warga kelurahan. Tahap pertama, program mengajak kurang lebih 20 anak muda dan tokoh masyarakat nonton bareng film yang bercerita seputar dampak perubahan iklim di Indonesia.

Pasca penanaman mangrove, Bapak Yachoni (ketua RW08) dan beberapa pemuda dusun Clumprit (lokasi penanaman mangrove) berinisiatif membentuk kelompok dengan nama Degayu for the future (DFTF). Kelompok anak muda ini yang kemudian menjadi inisiator utama penanaman mangrove di sekitar wilayahnya. Sekitar 800 pohon mangrove berhasil terkumpul dari bantuan Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, KEMITRAAN dan swadaya dari warga. Dukungan warga pada penanaman mangrove terlihat dari mereka yang merelakan lahannya ditanami. Momentum penanaman mangrove berhasil memikat warga sekitar dan bahkan Wakil Walikota Pekalongan serta pejabat lain.

Tidak hanya di satu lokasi, KEMITRAAN bersama warga melakukan kegiatan penanaman mangrove di dua lahan yang merupakan aset kota dan sudah melalui surat perjanjian dengan pemerintah bahwa lahan yang di tanami mangrove hanya diperuntukan bagi pengembangan mangrove di kelurahan Degayu.

Di lokasi pertama metode menggunakan lubang bambu berdiameter besar, di isi tanah sebagai media tanam dan melubangi bagian bawah untuk sarana keluar-masuk air serta akar ketika pohon mangrove tumbuh.

Di lokasi kedua, model penanaman menggunakan cara konvensional atau dalam istilah lokal dikenal dengan sebutan ajir. Metode yang paling kerap digunakan, yakni dengan menanam langsung ke tanah dan diberi ajir atau irisan bambu yang ditanam untuk kemudian mengikat pohon mangrove yang baru ditanam agar lebih kuat dari potensi datangnya gelombang.

Keberadaan dua lokasi pusat pengembangan mangrove di Degayu perlahan menarik perhatian warga, dari awalnya hanya ingin melihat, mau terlibat menanam hingga aktif mengajak diskusi tentang jenis dan manfaat dari mangrove. Terlebih setelah mereka tahu bahwa tanaman mangrove juga mendatangkan nilai ekonomi, salah satunya di olah menjadi sirup dan makanan ringan.

Sukses mengembangkan mangrove, KEMITRAAN bersama warga kelurahan juga berencana membuat demplot urban farming di tiga titik dalam waktu mendatang untuk memenuhi kebutuhan sayur warga. Rencana ini mendapat dukungan dari masyarakat, mengingat dulunya sebagian besar dari mereka adalah petani dan berharap upayanya akan menjadi salah satu tumpuan ekonomi masyarakat.

Selanjutnya, sosialisasi terkait pentingnya isu perubahan iklim terus digalakan. Ini memicu sebagian warga untuk aktif terlibat dalam pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim (POKJA PI), sebuah kelompok yang ingin mendorong isu adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan di kelurahannya. POKJA PI beranggotakan 27 orang yang berasal dari lintas pihak di kelurahan, dari mulai pemuda, aparat kelurahan, hingga tokoh masyarakat.

Pada tahun ini, POKJA PI mampu mendorong kelurahan untuk mengalokasikan anggaran sebanyak Rp. 3 juta per bulan selama satu tahun, dalam rencana pembangunan kelurahan tahun 2024. ANggaran yang dialokasikan rencananya akan digunakan untuk kegiatan sosialisasi pentingnya mengrove, perawatan mangrove, pembuatan mini pusat informasi mangrove dan perawatan urban farming.

jiwa jumlah penduduk (2021)
0
kepala keluarga (2021)
0
penerima manfaat (2023)
0
penduduk perempuan
0%
perempuan penerima manfaat
0%