KIBAS

Kelurahan Krapyak terletak di pesisir utara Kota Pekalongan dengan luas wilayah sekitar 378.618 ha, dan sebagiannya berbatasan langsung dengan garis pantai dengan tingkat ketinggian sekitar 1 mdpl. Sebagian wilayah atau sekitar 45 persen dari total luas kelurahan adalah rawa (124 ha), kemudian permukiman (77 ha), sawah (29 ha), sungai dan tambak masing-masing sekitar (15 ha) dan kawasan pantai (15 ha).

Kelurahan Krapyak dilintasi oleh empat sungai, di antaranya Sungai Kupang/Lodji dengan kondisi air sungai tercemar dan sedimentasi cukup tinggi, melewati kawasan pemukiman di tujuh RW. Kedua, Sungai Ampel Gading atau disebut juga Kali Mati di dua RW. Sungai selanjutnya adalah Sibulan di empat RW. Berbeda dengan Lodji, kondisi air di Sibulian cukup bagus, bergantung pengaturan pintu air. Terakhir adalah Sungai Banger di RW 19 dengan kondisi baik.

Sejarah Rob di Kelurahan Krapyak

Di tahun 1990-an, Pantai Slamaran yang merupakan salah satu lokasi wisata ungulan Kota Pekalongan ramai dikunjungi masyarakat. Ekosistem pantai yang baik, didukung bibir pantai  kurang lebih 600 m mampu menarik wisatawan datang, sekadar ingin berenang atau melihat ekosistem dan habitat yang terjaga dengan baik. Selain lokasi wisata, sumber pendapatan serta pangan masyarakat Krapyak adalah dari hasil sawah serta tambak.

Tahun 1997 banjir rob mulai merambah wilayah pesisir pantai, dan perlahan mulai berdampak pada sawah masyarakat. Pada 2000, terjadi banjir besar yang menenggelamkan beberapa rumah di Krapyak. Di 2005 hingga 2016, banjir rob menyebabkan kerugian akibat gagal panen yang dialami oleh petani sawah dan mulai banyak area persawahan yang beralih fungsi menjadi tambak.

Pada 2020 di awal puncak pandemi, banjir kembali terjadi dan semakin memperburuk keadaan. Dampaknya, sebagian masyarakat Krapyak mengungsi, akses jalan terputus, penambak, dan petani sawah gagal panen. Baru pada awal 2021, para petani dan penambak mulai bangkit dari keterpurukan.

Problem utama warga berupa terbatasnya lahan pertanian menjadi salah satu target yang diintervensi oleh program KEMITRAAN, salah satunya melalui pendekatan urban farming di RT 02 RW 12. Kelompok “Taman Cabe Sakura RW 12” berjumlah 27 anggota (11 perempuan dan 16 laki-laki) memanfaatkan lahan kosong yang terbengkalai seluas 8 m2 bekas lahan mushola. Di awal keberadaanya, kelompok memperoleh bantuan bibit dari Dinas Perempuan dan Anak (Dinperpa) masing-masing 30 polybag tanaman cabai, tanaman terong, dan tanaman tomat. Hingga saat ini, tercatat kelompok pimpinan Ibu Ramlah telah berulang kali melakukan penanaman ulang dan sudah menghasilkan empat kali panen.

Tak hanya di RW 12, program urban farming juga dilaksanakan oleh masyarakat di RW 10 dengan nama “Nusa Indah,” beranggotakan 10 orang (2 laki-laki dan 8 perempuan). Dengan luas 15 m lahan kosong yang dimanfaatkan, kelompok tani mampu menanam berbagai tanaman seperti tomat, cabai, terong dan aneka rempah seperti jahe dan kunyit.

Selain urban farming, pendampingan juga dilakukan di Tempat Pembuangan Sampah-Reduce, Reuse, Recycle (TPS-3R) yang berlokasi di RW 11. Pendampingan dilakukan dengan memperkuat manejemen pengelolaan sampah, mulai dari membuat catatan sampah yang dihasilkan dan diolah, pengolahan sampah organik dan budi daya magot. Saat ini, magot yang dihasilkan telah diujicobakan untuk pakan ternak ayam dan lele.

Pada level kebijakan, program melakukan penguatan melalui Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja-PI), dari mulai sosialisasi, pembentukan, penguatan hingga pembuatan rencana kerja Pokja PI. Sejauh ini, kegiatan yang sudah dilakukan adalah menanam tanaman untuk mengurangi pasan terik matahari, seperti menanam pohon pucuk merah.

jiwa jumlah penduduk (2023)
0
kepala keluarga (2023)
0
penerima manfaat (2023)
0
penduduk perempuan
0%
perempuan penerima manfaat
0%